Ratusan tahun silam, nusantara yakni indonesia, malaya (malaysia), temasek (singapura), thailand, burma (myanmar), vietnam, kamboja hingga madagaskar dan hawai, dikenal sebagai bangsa serumpun melayu-polinesia. Bahkan dahulu, para tokoh dan pejuang dari negeri-negeri itu mencanangkan satu negara bernama “melayu raya”.

Pada 1879 parlemen hawai di honolulu membahas kemungkinan penyatuan dunia melayu-polinesia. Sepuluh tahun kemudian, Apolinario Mabini di Manila mengumumkan “federation malaya”. Pada 1932  seorang tokoh dari mahasiswa University of Philippine bernama Wenceslao Q. Vinsons berorasi di kampusnya bahwa dirinya memimpikan kesatuan semua bangsa Melayu-polinesia yang tergabung dalam Negara Melayu Raya.

Dia meneruskan cita-cita para pendahulunya, pencetus revolusi filipina “Jose Rizal”, yang terkenal dengan novelnya “Noli Me Tangere”. Dalam tahun yang sama seorang pemuda Muhammad Yamin di jakarta juga mengemukakan obsesinya tentang “ Melayu Raya “ dan kemudian jadi “ Indonesia Raya”.
Gagasan  tersebut kembali terungkap ketika Indonesia-filipina-malaysia berencana mendirikan Maphilindo, sebuah singkatan dari ketiga negara tersebut pada tahun 1963 di Manila. Para pemimpin dari ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan negara mereka ke dalam Malphilindo.

Dalam pidatonya, presiden filipina Magapagal mengajak hadirin untuk mengenang kembali mimpi para nasionalis filipina mulai dari Jose Rizal, Manuel Quezon, Wenceslo Vinzons, hingga Elpido Quirino untuk menyatukan  bangsa-bangsa rumpun melayu. Magapagal menyebut presiden Indonesia Soekarno, perdana menteri Malaysia tengku Abdul Rahman sebagai “two of the greatest sons of the Malay race”.

MIMPI YANG MEMUDAR
Namun sungguh sayang Malphilindo tidak pernah terwujud. Justru berubah menjadi konfrontasi anatara indonesia dengan malaysia setelah presiden Soekarno menabuh genderang perang “Dwikora” dan istilah ganyang malaysia nya. Dampaknya, tentu saja memudarkan mimpi indah terbentuknya cita-cita Melayu Raya. Meskipun berbagai upaya secara efektif telah dilakukan kedua pihak yang bertikai. Bahkan misteri apa yang yang terjadi sesungguhnya di balik konfrontasi tersebut masih belum terungkap.

Khususnya bagi pemerintah dan masyarakat indonesia, boleh dikatakan nyaris melupakan ke-Melayuan nya, meskipun mayoritas secara kultural rakyat Indonesia tergolong ras Melayu-Polinesia. Atau hanya papua yang mayoritas ras Melanesia, sementara maluku dan pulau-pulau di nusa tenggara masih banyak yang ras melayu, kendati sudah meninggalkan ke-Melayuan nya.

PEWARIS MELAYU
Begitu Indonesia, begitu pula yang terjadi di Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Kamboja, Burma, madagaskar dan hawaii. Terbentuknya federasi Malaysia pada 1963 yang sebelumnya tahun 1957 bernama Persekutuan Negara Negara Melayu, menganggap dirinya adalah sebagai pewaris sah kebudayaan melayu. Nama Malaysia “malaya” sudah lama digunakan para tokoh dan perjuangan, yang mencita-citakan berdirinya Melayu Raya, sehingga dengan demikian Malaysia merasa berhak atas Melayu.

Kenyataannya pada abad ke 7 masehi, di jambi telah berdiri kerajaan melayu, yang walaupun tahun 700 masehi berhasil ditaklukkan kerajaan sriwijaya, tetapi bangkit kembali setelah sriwijaya ambruk pada abad ke 12. Imperium Melayu kembali membangun peradabannya. Sehingga bahasa melayu yang kemudian menjadi inti bahasa Indonesia dan bahasa negara Malaysia, bersumber dari Kepulauan Riau. Bak semboyan laksemana Hang Tuah “tak melayu hilang di bumi”. Namun siapa pewaris sejati melayu ?

#kutipan dari majalah Hang Tuah Pos.